Tuhan,
saya bingung ini… kenapa saya merasa berslah ya? humh,
Ceritanya
tadi itu, sahabat saya itu masih makan ketika bis menuju depok datang… saya sms
dia, dan saya tidak mendapat balasan. Kemudian saya teringat “oh iya, dia
ngelesin. Apa mungkin dia naik angkutan lain”
Nah
dari situ sya mencoba berpositif thinking, berharap dia tidak marah ketika
nanti merasa ditinggal, Tuhan. Sungguh saya berharap itu, mengingat hari minggu
kita (ane, sahabat ane itu, dan satu orang sahabat lainnya) masih bisa bercanda
gurau haha-hihi cekakak-cekukuk…
Tapi
tuhan, jam 7.16 dia pulang, tanpa memberi salam-masuk kamar-dan menangis sesenggukan.
Jadilah saya yang sedari tadi mencoba tidur, manghampiri kamarnya dan bertanya
“R U OK, kenapa? Kok nangis? Aku boleh masuk?” dengan interval yang sungguh
khawatir tapi tak ingin mengganggu.... dia menjawab “aku lagi telepon”, yes She
did. Dia spertinya memang lagi mengadu pada seseorang di seberang telepon itu
sambil menangis…. Aku makin hilang feeling, jangan-jangan dia memang kecewa
berat gara-gara ditnggal bis? Salah, ditinggal aku, atau sahabatnya yang lain?
Jam
08.00 dan suara telepon itu sudah berhenti, aku mencoba mengetuk pintu, mencoba
masuk… aku bertanya ada apa, dia menjawab tidak apa. Aku bertanya hal lain,
tentang jadwalnya mengajar hari ini, dia menjawab “the hell, aku ra ngomong yen
ngajar dino iki”… oh, Crap! Mungkin ini memang salah kupingku yang kurang
mendengar dengan presisi kapan dia akan ngelesi. Ok, sabar. Ucapannya itu cukup
bikin bad feeling saya timbul, terkuak… saya lanjut bertanya kenapa dia
menangis, dia menjawab “sedih wae” aku mencoba bertanya alasan dibalik jawaban
singkatnya itgu. Jawaban dengan senyum palsu dibuat-buat tapi menyembunyikan
seringai penuh kesal. Saya menangkapnya seperti itu Tuhan. Dan jawabannya
adalah “cukup ayah saya yang denger, saya sudah plong”
Sigh….
Saya hopeless dan langsung bertanya “apa gara-gara tadi ketinggalan bis?” dia
menjawab “ora, cukup ayah saya saja yang tau” lagi-lagi Tuhan. Tapi jawaban itu
seolah menegaskan bahwa benar dia merasa di’tinggal’….
Tuhanku….
Akhirnya saya dengan diam yang mengelu lidah, pamit undur diri berharap dia
bisa tanang segera setelah wajahku lenyap dari hadapannya, sungguh…
Saya
berpikir selama diam di kamarnya itu Tuhan, pikiran-pikiran itu melesat cepat
seolah melatih pertahananku kelak ketika dia lantas menyerangku marah,
mengeluarkan uneg-unegnya…
“tahukah Anda, ketika hari pertama kita
praktik rumah Sakit itu saya juga ketinggalan bis? Posisinya kamu yang’ninggal’
aku. And I’m fine, just because, ane memang keluarnya telat. Dan dari situ saya
tidak mengutuk siapa pun. Kamu yang seolah mencemaskanku juga SMS bertanya
apakah aku sudah nak bis atau belum. Itu sudah cukup membuatku merasa, kamu
juga ga enak ninggal aku. Tapi segera setelah sampai di rumah, apa reaksimu?
Kamu diam, esk paginya kau membiarkanku dan sahabat kita satunya itu berjalan
di gelap shubuh tanpa kata. Bungkam, tak mengijinkan sehuruf “E” pun keluar
untuk memecah kaku. Kau diam, saya pun
feeling ‘ini pasti gara-gara kejadian kemarin’.benar saja, siangnya saat
saya berusaha membuka obrolan lewat SMS, kata-kata mu mebuat sadar bahwa kau memang
kesal oleh ulahku… seolah menghakimi, ‘coba sekarang kau dimana?’…. ‘jangan
sampai ketinggalan kayak kemarin’. Dan ketus menguar dari layar hape ku yang
memampang SMS mu. Tuhanku. Aku ingat benar kejadian itu. Dan segera setelahnya,
saya selalu berusaha mengoreksi dan meningkatkan derap langkah kakiku untuk
minimal bisa berada 1 langkah di belakangnya. Untuk tidak membuat dia menunggu…
tappi ini apa, Tuhan?”
Kejadian
hari ini sungguh membuatku jatuh. Saya dengan hati-hati selalu berusaha
mengimbangi mood-mu yang turun naik tak keruan, sungguh cepat turun, sungguh
cepat naik. Saya sungguh sudah berusaha untuk tetap bisa menjaga sikap, dibalik
semua hal yang mungkin mebuatnya kesal dan mendiamkanku. Saya sungguh berusaha,
Tuhan. Tapi ini apa? Dia kecewa kah padaku yang meninggalkannya?
Apakah
saat diaman saya tidak SMS adalah saat palingpaarah ketika dia tertinggal bis?
Saat dimana tidak ada lagi sahabatnya yang mengingatkan dia untuk bergegas? Dia
saat itu saya tidak SMS dan disaat itu dia kesal, disaat itu dia
sedih…menangis, tergugu dan kecewa begitu?
Saya
lantas berpikir jahat, Tuhan. ‘mana teman yang selama ini kau elu-elukan? Teman
yang akhir-akhir ini selalu kau gelayuti manja, dimana kau bisa tertawa lepas
alih-alih denganku atau sahabatku yang lain itu? Mana temanmu itu? Apakah tadi
mereka mengingatkanmu untuk bergegas? Bukan, apakan mereka SMS kamu saat bis
datang? Itu saja. Apakah mereka mengkhawatirkan dirimu seperti aku hari ini?
Tidak kan? Dan lantas kau tidak kesal pada mereka? Kau hanya kesal padaku,
begitu?
Aku?
Sahabatmu? Yang dulu sangat dekat dan mesra lalu perlahan menjauh, begitu?
Aku?
Aku lagi yang harus menanggung beban moral dari semua rasa bersalahku padamu?
Dari semua rasa kecewa dan sedihmu?
Lalu
bagaimana dengan sahabat kita yang satunya ini? Dia selalu bersama kita, kita
selalu bertiga. Tapi dia pun bahkan tidak mencoba SMS kamu, lho. Apa yang salah
lantas?
Pernahkah
kau tahu bahwa sifat resistenmu membuatnya berperilaku begitu?
Pernahkah
kau tahu bahwa kata-katamu telah meruntuhkan rasa percayanya padamu?
Dia
mencoba menganggapmu sahabat, sepertiku. Sepertiku padamu, sahabat. Tapi
kata-katamu “aku mau pergi bersama sahabat-sahabatku yang sudah mengerti aku”
itu membuat kami gamang, terlebih sahabat kita itu. Dia benar-benar tidak
memedulikanmu bahkan.
Saat
dia SMS aku sekedar bertanya sudah makan, kau bahkan tidak menerima SMS> dia
lebih memilih singgah di kamarku untu berdandan sebelum ke kampus daripada di
kamarmu yang jelas-jelas lebih dekat pintu. Dia bahkan perlu arahan dariku
untuk sekedar membangunkanmu atau menawarimu makan. Tahukah kau?
Dan
sekarang apa arti sikapmu itu? Kau menuntut apa?
Aku
bolehkah menuntut balik kalau memang benar prasangkaku ini?
Kau
kecewa pada orang lain sementara kau bahkan tidak sadar kalau kau mebuat
seseorang kecewa. Bukan, kau memosisikan dirimu sebagai orang yang kecewa.
Kalau
begitu saya berhak dong untuk menangis saat kau sedang bad mood, eh? Saat
dimana kau membiarkan kami berdua diam dibalik aksi diammu yang maha dahsyat.
Maha benar.
WOW!
Tuhan,
lantas saya harus bagaimana? Saya selalu mendoakan hubungan kita bertiga agar
tidak terkesan menyeleweng. Berdoa agar kita selalu bersama, tertawa pun
menangis.
Terus
kalau begini, bagaimana?
Saya
harus bagaimana? Kamu sedih, akupun juga sedih.
Aku
selalu memikirkanmu.
Bukan,
aku selalu kepikiran semua tindak-tandukmu. Dan aku kesal. Mengapa aku terlalu
perasa? Kadang aku ingin seperti sahabat kita itu, yang bisa cuek.
Membiarkanmu, dan maklum atas sifat alotmu yang menggila iitu. Sifat tak
terkalahkanmu itu. Sifatmu itu. Dia bisa cuek. Atau terlampau cuek. Namun
bagaimana dengan aku, Tuhan? Saya bingung kalau terus begini.
Kau
bahkan tidak berudaha mengingat semua kebaikan kita bertiga saat noda
membuatnya buruk. Bisakah kau menenangkan diri dengan mengingat saat bersama
kita? Bisakah kau mencoba mengerti ada saat kau akan kesal, shabatmu juga akan
khilaf mengingatkanmu?
Ingatkah
kau pagi tadi pun saya masih membangunkanmu yang mungkin bisa bangun telat?
Ingatkah
kau masih diijinkan mengopy bahan UAS oleh shabat kita yang mungkin belum tentu
berstatus sahabat di hatimu?
Kau
mungkin tidak ingat, rasa kesalmu sungguh dahsyat hingga mampu mebuatnya
bertabir. Tertutup.
Tuhan,
bagaimana baiknya? Tidak mudah bagi hamba untuk selalu beradaptasi dengan
mood-nya yang sangat fluktuatif. Tidak mudah menyiapkan hati untuk melunak saat
moodnya membaik, atau menegang saat moodnya jatuh. Tidak mudah tuhan, karena
selalu ada luka dari semua mood jatuhnya itu.
Dan
tahukah dia?
Saya
akui mungkin saya yang sekarang tidak semanja saya yang dahulu. Saya yang
dahulu akan selalu lari kearahmu dan berkeluh atas masalah. Dan kita berbagi
segalanya. Saya akui, pikiran saya mendewasakan saya hingga saya melihat adanya
arogansi darimu, dan apatis dari sahabat kita. Saya tahu, dan karenanya
masing-masing dari kalian terenggut porsinya dari hatiku. Tapi tahukah kalian
bahwa saya selalu mencoba non blok? Saya akan selalu mengimbangi cerewetnya
shabat kita dengan diam, mengimbangi keluhanmu dengan solusi. Mengimbangi jarak
tiga tumpuan ini dengan menjadi poros? Saya sungguh mencoba netral. Tapi apa
ini?
Saya
selalu kalah oleh pikiran dan perasaan saya yang tak mau berhenti mengolah
alasan di balik sifat kesal dan diammu. Tak berhenti memikirkan cara untuk bisa
menyanggahmu bila kau menuntut, atau membiarkannya berlalu dengan membuka
obrolan baru dengan jiwa positif. Saya
selau kalah, dan saya terintimidasi.
Satu
hal, adakah sifatmu ini memang begini?
Bukan,apakah
setiap orang memang self oriented hingga menjadikan dirinya benar dan orang
lain selalu salah? Orang lainnya harusnya mengikuti mauku, orang lain itu
menyebalkan ketika tidak sesuai dengan inginku?
Tuhan….
ToT
Saya
menyalahkan diri atas terlalu perasanya hati ini dan terlalu mudahnya otak ini
untuk kepikiran…
Saya
tidak tahu bagaimana bisa dia begitu melekat hingga setiap perilakunya
mengontrol saya, berdampak pada saya…
Apakah
saya harus mengalami kehilangan lagi? Kehilangan sahabat atas sikap khilaf ini?
Memutus tali persaudaraan karena khilaf ini? Karena saya yang tidak juga
mengerti atau belajar dari kesalahan?
Tunjukkan
jalanmu, Tuhan. Saya malu ketika hubungan kami buruk, saya berdoa padamu minta
eratkan tali cinta itu. Saya malu ketika saat itu terkabul, segera tali itu
merenggang dan saya memohon lagi. Saya malu. Apakah saya kurang berusaha? Tuhan,
saya harus bagaimana?
Saya
berharap ini hanya su’udzon-nya saya, tapi saya merasa ini nyata. Benar dia
kesal pada saya hari ini, atas alasan panjang diatas. Benar ini.
Tapi
saya berharap ini hanya prsangka saya. Saya yang terlalu lemah hingga syaitan
membiarkan saya berpikir negative terhadap saya sendiri. Tapi Tuhan, ini sangat
terasa.
Saya
sungguh tidak berdaya menghadapinya..
Saya
lelah…ataukah saya terlalu mudah menyerah?
Tuhan,
semoga ini hanya prasangka buruk saja. Biarkanlah kami semakin dewasa dengan
masalah yang ada ini, Tuhan. Biarkan kami bersatu lagi dalam RidhaMu. Dalam
kasihMu. Amin :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar