Rabu, 30 Mei 2012


Tuhan, 
saya bingung ini… kenapa saya merasa berslah ya? humh,
Ceritanya tadi itu, sahabat saya itu masih makan ketika bis menuju depok datang… saya sms dia, dan saya tidak mendapat balasan. Kemudian saya teringat “oh iya, dia ngelesin. Apa mungkin dia naik angkutan lain”
Nah dari situ sya mencoba berpositif thinking, berharap dia tidak marah ketika nanti merasa ditinggal, Tuhan. Sungguh saya berharap itu, mengingat hari minggu kita (ane, sahabat ane itu, dan satu orang sahabat lainnya) masih bisa bercanda gurau haha-hihi cekakak-cekukuk…

Tapi tuhan, jam 7.16 dia pulang, tanpa memberi salam-masuk kamar-dan menangis sesenggukan. Jadilah saya yang sedari tadi mencoba tidur, manghampiri kamarnya dan bertanya “R U OK, kenapa? Kok nangis? Aku boleh masuk?” dengan interval yang sungguh khawatir tapi tak ingin mengganggu.... dia menjawab “aku lagi telepon”, yes She did. Dia spertinya memang lagi mengadu pada seseorang di seberang telepon itu sambil menangis…. Aku makin hilang feeling, jangan-jangan dia memang kecewa berat gara-gara ditnggal bis? Salah, ditinggal aku, atau sahabatnya yang lain?

Jam 08.00 dan suara telepon itu sudah berhenti, aku mencoba mengetuk pintu, mencoba masuk… aku bertanya ada apa, dia menjawab tidak apa. Aku bertanya hal lain, tentang jadwalnya mengajar hari ini, dia menjawab “the hell, aku ra ngomong yen ngajar dino iki”… oh, Crap! Mungkin ini memang salah kupingku yang kurang mendengar dengan presisi kapan dia akan ngelesi. Ok, sabar. Ucapannya itu cukup bikin bad feeling saya timbul, terkuak… saya lanjut bertanya kenapa dia menangis, dia menjawab “sedih wae” aku mencoba bertanya alasan dibalik jawaban singkatnya itgu. Jawaban dengan senyum palsu dibuat-buat tapi menyembunyikan seringai penuh kesal. Saya menangkapnya seperti itu Tuhan. Dan jawabannya adalah “cukup ayah saya yang denger, saya sudah plong”

Sigh…. Saya hopeless dan langsung bertanya “apa gara-gara tadi ketinggalan bis?” dia menjawab “ora, cukup ayah saya saja yang tau” lagi-lagi Tuhan. Tapi jawaban itu seolah menegaskan bahwa benar dia merasa di’tinggal’….
Tuhanku…. Akhirnya saya dengan diam yang mengelu lidah, pamit undur diri berharap dia bisa tanang segera setelah wajahku lenyap dari hadapannya, sungguh…
Saya berpikir selama diam di kamarnya itu Tuhan, pikiran-pikiran itu melesat cepat seolah melatih pertahananku kelak ketika dia lantas menyerangku marah, mengeluarkan uneg-unegnya…

tahukah Anda, ketika hari pertama kita praktik rumah Sakit itu saya juga ketinggalan bis? Posisinya kamu yang’ninggal’ aku. And I’m fine, just because, ane memang keluarnya telat. Dan dari situ saya tidak mengutuk siapa pun. Kamu yang seolah mencemaskanku juga SMS bertanya apakah aku sudah nak bis atau belum. Itu sudah cukup membuatku merasa, kamu juga ga enak ninggal aku. Tapi segera setelah sampai di rumah, apa reaksimu? Kamu diam, esk paginya kau membiarkanku dan sahabat kita satunya itu berjalan di gelap shubuh tanpa kata. Bungkam, tak mengijinkan sehuruf “E” pun keluar untuk memecah kaku. Kau diam, saya pun  feeling ‘ini pasti gara-gara kejadian kemarin’.benar saja, siangnya saat saya berusaha membuka obrolan lewat SMS, kata-kata mu mebuat sadar bahwa kau memang kesal oleh ulahku… seolah menghakimi, ‘coba sekarang kau dimana?’…. ‘jangan sampai ketinggalan kayak kemarin’. Dan ketus menguar dari layar hape ku yang memampang SMS mu. Tuhanku. Aku ingat benar kejadian itu. Dan segera setelahnya, saya selalu berusaha mengoreksi dan meningkatkan derap langkah kakiku untuk minimal bisa berada 1 langkah di belakangnya. Untuk tidak membuat dia menunggu… tappi ini apa, Tuhan?”

Kejadian hari ini sungguh membuatku jatuh. Saya dengan hati-hati selalu berusaha mengimbangi mood-mu yang turun naik tak keruan, sungguh cepat turun, sungguh cepat naik. Saya sungguh sudah berusaha untuk tetap bisa menjaga sikap, dibalik semua hal yang mungkin mebuatnya kesal dan mendiamkanku. Saya sungguh berusaha, Tuhan. Tapi ini apa? Dia kecewa kah padaku yang meninggalkannya?
Apakah saat diaman saya tidak SMS adalah saat palingpaarah ketika dia tertinggal bis? Saat dimana tidak ada lagi sahabatnya yang mengingatkan dia untuk bergegas? Dia saat itu saya tidak SMS dan disaat itu dia kesal, disaat itu dia sedih…menangis, tergugu dan kecewa begitu?

Saya lantas berpikir jahat, Tuhan. ‘mana teman yang selama ini kau elu-elukan? Teman yang akhir-akhir ini selalu kau gelayuti manja, dimana kau bisa tertawa lepas alih-alih denganku atau sahabatku yang lain itu? Mana temanmu itu? Apakah tadi mereka mengingatkanmu untuk bergegas? Bukan, apakan mereka SMS kamu saat bis datang? Itu saja. Apakah mereka mengkhawatirkan dirimu seperti aku hari ini? Tidak kan? Dan lantas kau tidak kesal pada mereka? Kau hanya kesal padaku, begitu?
Aku? Sahabatmu? Yang dulu sangat dekat dan mesra lalu perlahan menjauh, begitu?
Aku? Aku lagi yang harus menanggung beban moral dari semua rasa bersalahku padamu? Dari semua rasa kecewa dan sedihmu?

Lalu bagaimana dengan sahabat kita yang satunya ini? Dia selalu bersama kita, kita selalu bertiga. Tapi dia pun bahkan tidak mencoba SMS kamu, lho. Apa yang salah lantas?
Pernahkah kau tahu bahwa sifat resistenmu membuatnya berperilaku begitu?
Pernahkah kau tahu bahwa kata-katamu telah meruntuhkan rasa percayanya padamu?
Dia mencoba menganggapmu sahabat, sepertiku. Sepertiku padamu, sahabat. Tapi kata-katamu “aku mau pergi bersama sahabat-sahabatku yang sudah mengerti aku” itu membuat kami gamang, terlebih sahabat kita itu. Dia benar-benar tidak memedulikanmu bahkan.
Saat dia SMS aku sekedar bertanya sudah makan, kau bahkan tidak menerima SMS> dia lebih memilih singgah di kamarku untu berdandan sebelum ke kampus daripada di kamarmu yang jelas-jelas lebih dekat pintu. Dia bahkan perlu arahan dariku untuk sekedar membangunkanmu atau menawarimu makan. Tahukah kau?

Dan sekarang apa arti sikapmu itu? Kau menuntut apa?
Aku bolehkah menuntut balik kalau memang benar prasangkaku ini?
Kau kecewa pada orang lain sementara kau bahkan tidak sadar kalau kau mebuat seseorang kecewa. Bukan, kau memosisikan dirimu sebagai orang yang kecewa.
Kalau begitu saya berhak dong untuk menangis saat kau sedang bad mood, eh? Saat dimana kau membiarkan kami berdua diam dibalik aksi diammu yang maha dahsyat. Maha benar.
WOW!

Tuhan, lantas saya harus bagaimana? Saya selalu mendoakan hubungan kita bertiga agar tidak terkesan menyeleweng. Berdoa agar kita selalu bersama, tertawa pun menangis.
Terus kalau begini, bagaimana?
Saya harus bagaimana? Kamu sedih, akupun juga sedih.
Aku selalu memikirkanmu.
Bukan, aku selalu kepikiran semua tindak-tandukmu. Dan aku kesal. Mengapa aku terlalu perasa? Kadang aku ingin seperti sahabat kita itu, yang bisa cuek. Membiarkanmu, dan maklum atas sifat alotmu yang menggila iitu. Sifat tak terkalahkanmu itu. Sifatmu itu. Dia bisa cuek. Atau terlampau cuek. Namun bagaimana dengan aku, Tuhan? Saya bingung kalau terus begini.
Kau bahkan tidak berudaha mengingat semua kebaikan kita bertiga saat noda membuatnya buruk. Bisakah kau menenangkan diri dengan mengingat saat bersama kita? Bisakah kau mencoba mengerti ada saat kau akan kesal, shabatmu juga akan khilaf mengingatkanmu?
Ingatkah kau pagi tadi pun saya masih membangunkanmu yang mungkin bisa bangun telat?
Ingatkah kau masih diijinkan mengopy bahan UAS oleh shabat kita yang mungkin belum tentu berstatus sahabat di hatimu?

Kau mungkin tidak ingat, rasa kesalmu sungguh dahsyat hingga mampu mebuatnya bertabir. Tertutup.
Tuhan, bagaimana baiknya? Tidak mudah bagi hamba untuk selalu beradaptasi dengan mood-nya yang sangat fluktuatif. Tidak mudah menyiapkan hati untuk melunak saat moodnya membaik, atau menegang saat moodnya jatuh. Tidak mudah tuhan, karena selalu ada luka dari semua mood jatuhnya itu.
Dan tahukah dia?

Saya akui mungkin saya yang sekarang tidak semanja saya yang dahulu. Saya yang dahulu akan selalu lari kearahmu dan berkeluh atas masalah. Dan kita berbagi segalanya. Saya akui, pikiran saya mendewasakan saya hingga saya melihat adanya arogansi darimu, dan apatis dari sahabat kita. Saya tahu, dan karenanya masing-masing dari kalian terenggut porsinya dari hatiku. Tapi tahukah kalian bahwa saya selalu mencoba non blok? Saya akan selalu mengimbangi cerewetnya shabat kita dengan diam, mengimbangi keluhanmu dengan solusi. Mengimbangi jarak tiga tumpuan ini dengan menjadi poros? Saya sungguh mencoba netral. Tapi apa ini?

Saya selalu kalah oleh pikiran dan perasaan saya yang tak mau berhenti mengolah alasan di balik sifat kesal dan diammu. Tak berhenti memikirkan cara untuk bisa menyanggahmu bila kau menuntut, atau membiarkannya berlalu dengan membuka obrolan baru  dengan jiwa positif. Saya selau kalah, dan saya terintimidasi.
Satu hal, adakah sifatmu ini memang begini?
Bukan,apakah setiap orang memang self oriented hingga menjadikan dirinya benar dan orang lain selalu salah? Orang lainnya harusnya mengikuti mauku, orang lain itu menyebalkan ketika tidak sesuai dengan inginku?
Tuhan…. ToT
Saya menyalahkan diri atas terlalu perasanya hati ini dan terlalu mudahnya otak ini untuk kepikiran…
Saya tidak tahu bagaimana bisa dia begitu melekat hingga setiap perilakunya mengontrol saya, berdampak pada saya…

Apakah saya harus mengalami kehilangan lagi? Kehilangan sahabat atas sikap khilaf ini? Memutus tali persaudaraan karena khilaf ini? Karena saya yang tidak juga mengerti atau belajar dari kesalahan?
Tunjukkan jalanmu, Tuhan. Saya malu ketika hubungan kami buruk, saya berdoa padamu minta eratkan tali cinta itu. Saya malu ketika saat itu terkabul, segera tali itu merenggang dan saya memohon lagi. Saya malu. Apakah saya kurang berusaha? Tuhan, saya harus bagaimana?
Saya berharap ini hanya su’udzon-nya saya, tapi saya merasa ini nyata. Benar dia kesal pada saya hari ini, atas alasan panjang diatas. Benar ini.

Tapi saya berharap ini hanya prsangka saya. Saya yang terlalu lemah hingga syaitan membiarkan saya berpikir negative terhadap saya sendiri. Tapi Tuhan, ini sangat terasa.
Saya sungguh tidak berdaya menghadapinya..
Saya lelah…ataukah saya terlalu mudah menyerah?
Tuhan, semoga ini hanya prasangka buruk saja. Biarkanlah kami semakin dewasa dengan masalah yang ada ini, Tuhan. Biarkan kami bersatu lagi dalam RidhaMu. Dalam kasihMu. Amin :)

Slider(Do not Edit Here!)